Nyepi
(Kebudayaan dan tradisi masyarakat Bali di Medan)
melanisti |
Sejarah Nyepi
Kondisi India sebelum
Masehi, diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang
memperebutkan kekuasaan sehingga penguasa (Raja) yang menguasai India
silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana,
Malawa, dan Saka. Diantara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat
kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska
berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan
sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78
Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 S), datang ke Indonesia seorang
Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat,
India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan
Agama Hindu di Jawa. Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem
kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Sejak itu
Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya Agama Hindu ke Bali
kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14
dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang.
Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya
Hindu Indonesia (Bali) dalam perayaan Tahun Baru Caka inilah yang
menjadi pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini.
Keistimewaan Nyepi
Nyepi
berasal dari kata “sepi”, “sipeng” yang berarti sepi, hening, sunyi,
senyap. Seperti namanya perayaan tahun baru caka bagi umat hindu di
Indonesia ini dirayakan sangat berbeda dengan perayaan Tahun Baru
lainnya, dimana perayaan umumnya identik dengan gemerlapnya pesta dan
kemeriahan, dan euforia dan hura-hura tetapi umat Hindu dalam merayakan
Nyepi malah dilaksanakan dengan Menyepi, “Sepi”,
“Hening”,”Sunyi”,”Senyap”.
Mungkin pertanyaan
muncul dibenak kita, Mengapa perayaan Tahun Baru Caka tidak dilaksanakan
dengan ramai dan pesra seperti perayan tahun baru pada umumnya? Menurut
saya ini merupakan cermin kebijaksanaan dan kejeniusan lehuhur kita,
dimana seperti pada perayaan Hari Raya Siwarari, leluhur kita selalu
menekankan kita tentang konsep “mulat sarira”. Perayaan dalam hening dan
sepi agar kita belajar (instrospeksi/kembali ke jatidiri) dengan
merenung, meditasi, evaluasi diri dan bertanya tentang diri kita, siapa
kita? Mengapa kita ada disini? Akan kemanakah kita nanti? Selama
setahun ini apakah yang kesalahan kita yang perlu diperbaiki? Dan
bukankah dalam sepi dan hening kedamaian dan kejernihan pikiran lebih
mudah tercapai ?
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog saya dan Berkomentar dengan Sopan :)